EKONOMI RAKYAT INDONESIA - tugas individu
EKONOMI RAKYAT INDONESIA
Abstrak
ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98).
Abstrak
ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98).
Pendahuluan
istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.
istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.
Isi
Hernando De Soto 10 tahun lalu menulis buku yang juga
menyakinkan berjudul The Other Parth yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia
seharusnya ”Ekonomi Rakyat.”Dalam waktu 6 bulan (September 1997 - Maret 1998),
konglomerat bersangkutan, yang sangat berkuasa, bersumpah ”menghapus kata
ekonomi rakyat dari GBHN 1993”, dan sejak itu muncullah kata atau istilah yang
dianggap lebih terhormat yaitu ekonomi kerakyatan. Sayangnya, pemerintahan
Habibie, yang tinggal menerima saja konsep ini terpaksa menelan pil pahit
dianggap keliru dan ”berpolitik terlalu populis” yaitu “memusuhi konglomerat
untuk membela rakyat”. Hasilnya, pakar-pakar ekonomi Neoklasik / Neoliberal menghujat
konsep ekonomi kerakyatan sebagai konsep politik yang ”ideologis”, yang tak
ilmiah, dan tak sesuai dengan sistem ekonomi pasar (bebas) yang mereka
gandrungi, dan yang dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang ”benar” sejak
runtuhnya tembok Berlin 1989.
Maka sejak krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar ekonomi arus
utama selalu menyatakan di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para
investor ”sedang klenger”, dan bahkan para pengusaha nasional dan
investor-investor asing melarikan modal mereka ke luar negeri.
Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk pada ”berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan “ekonomi rakyat” yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk pada ”berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan “ekonomi rakyat” yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Kesimpulan
selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ”prospek masa depan”, dengan alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ”menjelaskan” bukan ”meramal”. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika krismon 1997-1998 diramalkan “tidak mungkin terjadi di Indonesia”. Dewasa ini pakar-pakar ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.
Daftar Pustaka
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ”prospek masa depan”, dengan alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ”menjelaskan” bukan ”meramal”. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika krismon 1997-1998 diramalkan “tidak mungkin terjadi di Indonesia”. Dewasa ini pakar-pakar ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.
Daftar Pustaka
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda