GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP) DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
GROSS
DOMESTIC PRODUCT (GDP) DALAM PEREKONOMIAN
INDONESIA
A. Pendahuluan
Definisi Produk Domestik Bruto atau
Gross Domestic Product (GDP).
Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis.
Sedangkan menurut McEachern (2000:146), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat.
Gross domestic product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali.
Contohnya, grosir membeli sekaleng tuna seharga Rp 6.000,- dan menjualnya seharga Rp 9.000,-. Jika GDP menghitung kedua transaksi tersebut , Rp 6.000,- dan Rp 9.000,-, maka sekaleng tuna itu dihitung senilai Rp 15.000,- (lebih besar daripada nilai akhirnya). Jadi, GDP hanya menghitung nilai akhir dari suatu produk yaitu sebesar Rp 9.000,-. Untuk barang yang diperjual-belikan berulang kali (second-hand) tidak dihitung dalam GDP karena barang tersebut telah dihitung pada saat diproduksi. (2000:146-147).
Tipe-tipe GDP
Ada dua tipe GDP, yaitu :
1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut.
2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan
harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot.
Perhitungan GDP
Menurut McEachern (2000:147) ada dua macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP, yaitu:
1. Pendekatan pengeluaran, menjumlahkan seluruh pengeluaran agregat pada seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi selama satu tahun.
2. Pendekatan pendapatan, menjumlahkan seluruh pendapatan agregat yang diterima selama satu tahun oleh mereka yang memproduksi output tersebut.
GDP berdasarkan Pendekatan Pengeluaran.
Menurut McEachern (2000:149) untuk memahami pendekatan pengeluaran pada GDP, kita membagi pengeluaran agregat menjadi empat komponen, konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor netto. Kita akan membahasnya satu per satu.
1. Konsumsi, atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan, adalah pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun. Contohnya : dry cleaning, potong rambut, perjalanan udara, dsb.
2. Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan.
Contohnya : bangunan dan mesin baru yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa.
3. Pembelian pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi bruto pemerintah, mencakup semua belanja semua tingkat pemerintahan pada barang dan jasa, dari pembersihan jalan sampai pembersihan ruang pengadilan, dari buku perpustakaan sampai upah petugas perpustakaan. Di dalam pembelian pemerintah ini tidak mencakup keamanan sosial, bantuan kesejahteraan, dan asuransi pengangguran. Karena pembayaran tersebut mencerminkan bantuan pemerintah kepada penerimanya dan tidak mencerminkan pembelian pemerintah.
4. Ekspor netto, sama dengan nilai ekspor barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan impor barang dan jasa negara tersebut. Ekspor netto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang tetapi juga jasa.
Dalam pendekatan pengeluaran, pengeluaran agregat negara sama dengan penjumlahan konsumsi, C, investasi, I, pembelian pemerintah, G, dan ekspor netto, yaitu nilai ekspor, X, dikurangi dengan nilai impor, M, atau (X-M).
Penjumlahan komponen tersebut menghasilkan pengeluaran agregat, atau GDP:
C + I + G + (X-M) = Pengeluaran agregat = GDP
GDP berdasarkan Pendekatan Pendapatan.
Menurut McEachern (2000:151) pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendaptan yang diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya digunakan dalam proses produksi). Sistem pembukuan double-entry dapat memastikan bahwa nilai output agregat sama dengan pendapatan agregat yang dibayarkan untuk sumber daya yang digunakan dalam produksi output tersebut: yaitu upah, bunga, sewa, dan laba dari produksi.
Jadi kita dapat mengatakan bahwa:
Pengeluaran agregat = GDP = Pendapatan agregat
Suatu produk jadi biasanya diproses oleh beberapa perusahaan dalam perjalanannya menuju konsumen. Meja kayu, misalnya, mulanya sebagai kayu mentah, kemudian dipotong oleh perusahaan pertama, dipotong sesuai kebutuhan mebel oleh perusahaan kedua, dibuat meja oleh perusahaan ketiga, dan dijual oleh perusahaan keempat. Double counting dihindari dengan cara hanya memperhitungkan nilai pasar dari meja pada saat dijual kepada pengguna akhir atau dengan cara menghitung nilai tambah pada setiap tahap produksi. Nilai tambah dari setiap perusahaan sama dengan harga jual barang perusahaan tersebut dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan atas input perusahaan lain.
Nilai tambah dari tiap tahap mencerminkan pendapatan atas pemilik sumber daya pada tahap yang bersangkutan. Penjumlahan nilai tambah pada semua tahap produksi sama dengan nilai pasar barang akhir, dan penjumlahan nilai tambah seluruh barang dan jasa akhir adalah sama dengan GDP berdasarkan pendekatan pendapatan.
Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis.
Sedangkan menurut McEachern (2000:146), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat.
Gross domestic product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali.
Contohnya, grosir membeli sekaleng tuna seharga Rp 6.000,- dan menjualnya seharga Rp 9.000,-. Jika GDP menghitung kedua transaksi tersebut , Rp 6.000,- dan Rp 9.000,-, maka sekaleng tuna itu dihitung senilai Rp 15.000,- (lebih besar daripada nilai akhirnya). Jadi, GDP hanya menghitung nilai akhir dari suatu produk yaitu sebesar Rp 9.000,-. Untuk barang yang diperjual-belikan berulang kali (second-hand) tidak dihitung dalam GDP karena barang tersebut telah dihitung pada saat diproduksi. (2000:146-147).
Tipe-tipe GDP
Ada dua tipe GDP, yaitu :
1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut.
2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan
harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot.
Perhitungan GDP
Menurut McEachern (2000:147) ada dua macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP, yaitu:
1. Pendekatan pengeluaran, menjumlahkan seluruh pengeluaran agregat pada seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi selama satu tahun.
2. Pendekatan pendapatan, menjumlahkan seluruh pendapatan agregat yang diterima selama satu tahun oleh mereka yang memproduksi output tersebut.
GDP berdasarkan Pendekatan Pengeluaran.
Menurut McEachern (2000:149) untuk memahami pendekatan pengeluaran pada GDP, kita membagi pengeluaran agregat menjadi empat komponen, konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor netto. Kita akan membahasnya satu per satu.
1. Konsumsi, atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan, adalah pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun. Contohnya : dry cleaning, potong rambut, perjalanan udara, dsb.
2. Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan.
Contohnya : bangunan dan mesin baru yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa.
3. Pembelian pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi bruto pemerintah, mencakup semua belanja semua tingkat pemerintahan pada barang dan jasa, dari pembersihan jalan sampai pembersihan ruang pengadilan, dari buku perpustakaan sampai upah petugas perpustakaan. Di dalam pembelian pemerintah ini tidak mencakup keamanan sosial, bantuan kesejahteraan, dan asuransi pengangguran. Karena pembayaran tersebut mencerminkan bantuan pemerintah kepada penerimanya dan tidak mencerminkan pembelian pemerintah.
4. Ekspor netto, sama dengan nilai ekspor barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan impor barang dan jasa negara tersebut. Ekspor netto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang tetapi juga jasa.
Dalam pendekatan pengeluaran, pengeluaran agregat negara sama dengan penjumlahan konsumsi, C, investasi, I, pembelian pemerintah, G, dan ekspor netto, yaitu nilai ekspor, X, dikurangi dengan nilai impor, M, atau (X-M).
Penjumlahan komponen tersebut menghasilkan pengeluaran agregat, atau GDP:
C + I + G + (X-M) = Pengeluaran agregat = GDP
GDP berdasarkan Pendekatan Pendapatan.
Menurut McEachern (2000:151) pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendaptan yang diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya digunakan dalam proses produksi). Sistem pembukuan double-entry dapat memastikan bahwa nilai output agregat sama dengan pendapatan agregat yang dibayarkan untuk sumber daya yang digunakan dalam produksi output tersebut: yaitu upah, bunga, sewa, dan laba dari produksi.
Jadi kita dapat mengatakan bahwa:
Pengeluaran agregat = GDP = Pendapatan agregat
Suatu produk jadi biasanya diproses oleh beberapa perusahaan dalam perjalanannya menuju konsumen. Meja kayu, misalnya, mulanya sebagai kayu mentah, kemudian dipotong oleh perusahaan pertama, dipotong sesuai kebutuhan mebel oleh perusahaan kedua, dibuat meja oleh perusahaan ketiga, dan dijual oleh perusahaan keempat. Double counting dihindari dengan cara hanya memperhitungkan nilai pasar dari meja pada saat dijual kepada pengguna akhir atau dengan cara menghitung nilai tambah pada setiap tahap produksi. Nilai tambah dari setiap perusahaan sama dengan harga jual barang perusahaan tersebut dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan atas input perusahaan lain.
Nilai tambah dari tiap tahap mencerminkan pendapatan atas pemilik sumber daya pada tahap yang bersangkutan. Penjumlahan nilai tambah pada semua tahap produksi sama dengan nilai pasar barang akhir, dan penjumlahan nilai tambah seluruh barang dan jasa akhir adalah sama dengan GDP berdasarkan pendekatan pendapatan.
B.
Isi
ANALISIS KONSUMSI MASYARAKAT DI INDONESIA
Dalam kasus ini ada beberapa
isu-isu penting yang selalu dihadapi oleh setiap individu dalam mencapai
tujuannya tersebut. Salah satu komponen penting untuk menilai perkembangan
tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk adalah pola pengeluaran konsumsi
masyarakat. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu
Negara dijumlahkan , maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat
Negara yang bersangkutan.
Menurut
Keynes, faktor utama yang menentukan prestasi ekonomi
suatu negara
adalah pengeluaran agregat yang merupakan pembelanjaan
masyarakat
terhadap barang dan jasa. Keputusan konsumsi rumah tangga mempengaruhi
keseluruhan perilaku perekonomian baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek.
Dikebanyakan Negara pengeluaran konsumsi sekitar 50% - 75%
dari gross domestic product (GDP) sehingga konsumsi rumah tangga dapat
mempengaruhi fluktuasi kegiatan ekonomi dari waktu kewaktu, dimana konsumsi
individu berbanding lurus dengan pendapatannya. Di Indonesia, konsumsi juga
memiliki peranan yang sangat dominan dalam perekonomian, dimana kontribusi
konsumsi terhadap perekonomian Indonesia sangat besar dan dominan yaitu antara
57,7% - 73,9% dari gross domestic product (GDP). Konsumsi rumah tangga terjadi
karena adanya pendapatan yang diperoleh rumah
tangga
yang berasal dari penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya yang
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu tanah, tenaga kerja,modal keahlian
kewirausahaan.
Pajak pendapatan perseorangan dikenakan pada setiap individu
yang mendapatkan upah atau gaji pokok diatas pendapatan kena pajak dalam suatu
periode tertentu. Pendapatan individu yang sudah dikurangi pajak pendapatan
perseorangan merupakan pendapatan disposibel. Sehingga pendapatan posibel dapat
digunakan untuk keperluan konsumsi atau membeli barang atau jasa yang mereka
inginkan. Pemungutan pajak oleh pemerintah tersebut akan berakibat berkurangnya
besaran pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh individu, dan pajak yang
dipungut oleh pemerintah akan mengakibatkan berkurangnya besaran pendapatan
yang akan digunakan untuk keperluan konsumsi. Pendapatan posibel masyarakat
Indonesia cenderung mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan pendapatan
masyarakat Indonesia dengan besaran mencapai 400%.
Konsumsi
mempunyai hubungn yang erat dengan tingkat tabungan dimana tabungan adalah pendapatan yang tidak
dipakai dalam kegiatan konsumsi atau tidak digunakan untuk belanja. Suku bunga
juga mempengaruhi tingkat konsumsi melalui perantara tabungan. Semakin tinggi
suku bunga maka semakin besar jumlah uang yang ditabung dan semakin kecil uang
yang akan dibelanjakan untuk dikonsumsi. Semakin rendah tingkat suku bunga maka
semakin kecil jumlah uang yang akan ditabung dan semakin besar uang yang akan
dibelanjakan untuk dikonsumsi. Hubungan antara konsumsi dan tabungan akan
bertentangan dimana peningkatan suku bunga akan mempengaruhi pola konsumsi
masyarakat.
*Baginda
Persaulian, SE, ME, Karyawan Bank BTPN
**Dr.
Hasdi Aimon, M.Si adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNP
***Drs.
Ali Anis, M.Si adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNP
ANALISIS PENGARUH INFLASI, SUKU BUNGA BI, DAN PRODUK
DOMESTIK BRUTO TERHADAP RETURN ON ASSET (ROA) BANK
SYARIAH
DI INDONESIA
Krisis
moneter terjadi pada tahun 1998 telah membuat beberapa bank dilikuidasi karena
tidak mampu melaksanakan kewajibannya terhadap nasabah akibat dari suku bunga
yang tinggi yang telah ditetapkan pemerintah selama krisis moneter berlangsung.
Terkecuali bank syariah, karena bank ini tidak menganut sistem bunga. Dalam hal
ini bank syariah tidak menglami pergerakan negatif. Dan banksyariah juga tidak
memiliki kewajiban untuk membayar kewajiban bunga kepada nasabahnya. Salah satu
cara untuk melihat perkembangan bank adalah dengan melihat tingkat
profitabilitasnya serta tingkat efisiensinya. Dalam variabel makroekonomi yang
digunakan adalh inflasi, suku bunga BI (BI Rate), dan gross domestic product
(GDP) ketiga faktor ini merupakan dampak dari krisis financial global taun
2008.
Hunungan
inflasi terhadap ROA adlah inflasi akan menurunkan nilai riil tabungan karena
masyarakat akan mempergunakan hartanya dan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhannya dan mencukupi biaya pengeluaran karena harga-harga barang yang
naik, sehingga mempengaruhi profitabilitas suatu bank. Pengaruh inflasi
terhadap ROA adalah semakin besar inflasi maka semakin besar ROA perusahaan,
sebaliknya semakin kecil inflasi maka semakin kecil pula ROA perusahaan.
Hubungan
BI Rate terhadap ROA juga mempengaruhi
profitabilitas suatu bank. Semakin tinggi suku bunga BI maka akan diikuti
naiknya suku bunga deposito yang berakibat langsung penurunan sumber dana
terhadap pihak ketiga bank syariah. Dari penelitian ini BI Rate tidak
berpengaruh terhadap ROA. Tetapi berpengaruh pada ROA terhadap bank syariah
karena nasabah akan memindahkan dananya ke bank konvensional guna mendapatkan
bunga yang lebih tinggi.
Hubungan gross domestic product (GDP) terhadap
ROA juga menjadi salah satu indicator
makro ekonomi yang mempengaruhi profitabilitas bank. Jika GDP naik maka pendapatan
masyarakat juga akan naik. Sehingga kemampuan menabung (saving) masyarakat juga
akan meningkat. Peningkatan menabung (saving) masyarakat ini yang akan
mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Dengan demikian indicator GDP ini
berpengaruh positif bagi ROA terhadap bank syariah. Naik atau turunnya GDP akan
mempengaruhi kemampuan saving oleh masyarakat di bank. Suku bunga BI dapat
berpengaruh negative terhadap ROA. Namun tidak pada inflasi dan gross domestic
product dua indikator ini dapat berpengaruh positif terhadap ROA.
*Ayu
Yanita Sahara
PENGARUH INFLASI DAN
PERUBAHAN KURS TERHADAP GDP INDONESIA PERIODE 1997 – 1998
Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang berdampak negatif pada kondisi perekonomian dan
krisis ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat
eksternal maupun internal. Dampak krisis tersebut ditandai dengan situasi
perekonomian Indonesia pada tahun setelah terjadinya krisis mengalami pasang
surut, hal ini ditunjukkan dengan perubahan Gross Domestic Product (GDP) riil,
tingkat pengangguran, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia, pada awal
tahun 1998 GDP riilnya turun 13,01 % dan jumlah orang dewasa yang bekerja
menurun dari 95,3 % ke 94,5 % dan tingkat pengangguran meningkat dari 4,7 % ke
5,5 %. Satu tahun kemudian (1999) GDP riil tumbuh sebesar 0,31 % dan jumlah
penduduk dewasa yang bekerja menurun sebesar 93,7 % dan tingkat pengangguran
meningkat kembali ke 6,3 % (BPS, 2000). Dan Dengan diberlakukannya sistem nilai
tukar mengambang penuh/bebas (freely floating system) yang dimulai sejak
Agustus 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (khususnya
US$) ditentukan oleh mekanisme pasar.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
tingkat pengangguran, inflasi dan perubahan kurs terhadap pertumbuhan GDP .
Data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data itu meliputi data
tahunan inflasi, perubahan kurs dan GDP peride 1997 sampai 2008. Hasil
penelitian ini mengindikasikan ada pengaruh inflasi(X1), dan perubahan kurs
(X2) terhadap GDP (Y) secara simultan berdasarkan nilai Fhitung sebesar 23,881
dengan tingkat signifikansi 0.000. Selain itu tidak ada pengaruh yang
signifikan perubahan kurs (X2) terhadap GDP (Y) dan ada pengaruh negatif antara
inflasi dengan GDP (Y) secara parsial dengan nilai β1 = -0,251 dan sig
t = 0,000, β2=0,000 dan sig t= 0.882 Berdasarkan hasil penelitian
tersebut disimpulkan terdapat pengaruh negatif tingkat inflasi terhadap
pertumbuhan PDB atau GDP .Tidak ada pengaruh yang signifikan perubahan kurs
terhadap pertumbuhan PDB atau GDP Berdasarkan pada Uji F dimana diperoleh
Fhitung >Ftabel yang menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan inflasi
dan perubahan kurs secara simultan terhadap PDB atau GDP .
Saran
dalam penelitian ini adalah : (1) Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut
dan mendalam perihal signifikansi kurs terhadap PDB. (2) Untuk meningkatkan PDB
di Indonesia pemerintah diharapkan menekan angka inflasi dan nilai kurs agar
tidak terus mengalami kenaikan yang signifikan.
*Dedik Eko Purwanto
C. KESIMPULAN
Masyarakat Negara Indonesia akan mendapatkan pendapatannya
lebih besar apabila tingkat biaya pajak yang dipungut oleh pemerinah rendah.
Dan ada kemampuan masyarakatnya untuk saving atau menabung. Tingkat keinginan
masyarakat untuk menabung akan lebih tinggi apabila suku bunga bank tinggi. Dan
sebaliknya apabila suku bunga suatu bank rendah maka masyarakatpun tidak
terlalu tertarik untuk melakukan saving atau menabung. Dari tingkat saving
inilah yang dapat mempengaruhi profitabilitas suatu bank di Indonesia. Prestasi
ekonomi suatu Negara juga dapat dilihat dari pengeluaran agregat pembelanjaan
masyarakat terhadap barang dan jasa. Dari ketiga kesimpulan diatas perekonomian
Indonesia sangat dipengaruhi oleh beberapa indikator. Diantaranya adalah
Inflasi, BI Rate, gross domestic product. Indikator-indikator tersebut memiliki
peranan yang penting dalam profitabilitas bank yang ada di Indonesia. Dimana BI
Rate dapat berpengaruh negatif pada ROA. Namun sebaliknya pada inflasi dan
gross domestic product kedua indikator tersebut dapat memberi dampak positif
terhadap ROA.